KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Segala
puji bagi Allah SWT. karena atas berkah dan kemurahanNya saya bisa menyusun
hingga selesai tugas proyek Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan ini. Tak
lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari jalan yang gelap
menuju jalan yang terang. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada guru
pembimbing Pendidikan Pancasila Dan Kewargangaraan saya, yaitu Bapak Priyo
Sigyangt Utomo yang telah mengajar saya dengan sepenuh hati sehingga saya bisa
memahami pelajaran Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan ini.
Tugas
proyek ini disusun sebagai salah satu tugas
BAB Makna dan Arti Penting
Kebangkitan Nasinal dalam Perjuangan Kemerdekaan serta sebagai salah satu bahan
penilaian. Maka dari itu saya berharap agar bapak/ibu guru dapat memaklumi kesalahan yang terdapat
dalam tugas ini, karena saya sebagai penyusun sendiri masih memiliki banyak
kekurangan.
Sekian
Terima Kasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Purwosari, 13 Januari 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
Cover
………………………………………………………
Kata
pengantar………………………………………………
Daftar isi
……………………………………………………
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang …………………………………………..
B. Tujuan …………………………………………………..
C. Rumusan masalah ………………………………………
D. Manfaat ……………………………………………........
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup Ir. Soekarno ……………………………..
B. Riwayat hidup Drs. H. Mohammad Hatta ………………
C. Riwayat hidup Jenderal Soedirman ……………………..
D. Riwayat hidup Pangeran Diponegoro …………………...
E. Riwayat hidup Cut Nyak Dhien …………………………
F. Riwayat hidup Ki Hajar Dewantara ……………………..
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………..
B. Saran ……………………………………………………
C. Pelajaran yang dipetik …………………………………..
BAB 4 DAFTAR PUSTAKA ……………………………
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mengingat pentingnya penjelasan tentang riwayat hidup
para Pahlawan yang harus diketahui oleh setiap masyarakat Indonesia menyangkut
rasa kebangsaan dan persatuan bagi mereka. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman
secara sungguh-sungguh atas riwayat hidup yang telah ditunjukkan secara tegas,
maka tugas proyek ini menjadi sangat penting.
B.
Tujuan
1. Dapat mengetahui penjelasan tentang riwayat hidup
Ir. Soekarno
2. Dapat mengetahui penjelasan tentang riwayat hidup
Drs. H. Moh. Hatta
3. Dapat mengetahui penjelasan tentang riwayat hidup
Jenderal Soedirman
4. Dapat mengetahui penjelasan tentang riwayat hidup
Pangeran Diponegoro
5. Dapat mengetahui penjelasan tentang riwayat hidup
Cut Nyak Dhien
6. Dapat mengetahui penjelasan tentang riwayat hidup Ki
Hajar Dewantara
C.
Rumusan Masalah
1. Penjelasan tentang Ir. Soekarno
2. Penjelasan tentang Drs. H. Mohammad Hatta
3. Penjelasan tentang Jenderal Soedirman
4. Penjelasan tentang Pangeran Diponegoro
5. Penjelasan tentang Cut Nyak Dhien
6. Penjelasan tentang Ki Hajar Dewantara
D.
Manfaat
Dengan dibuatnya tugas proyek Pendidikan Pancasila
Dan Kewarganegaraan ini, saya lebih mudah untuk memahami materi tentang riwayat
hidup para Pahlawan Nasional.
BAB 2 PEMBAHASAN
1.
Ir. Soekarno
Dr.(H.C.)
Ir. H. Soekarno (Sukarno), lahir
di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 - meninggal di Jakarta, 21
Juni 1970 pada umur 69 tahun. Beliau adalah Presiden Pertama
Republik Indonesia yang menjabat pada periode 1945–1967. Ia memainkan
peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama
dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno adalah yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya.
Soekarno
menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang
kontroversial, yang isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar
Angkatan Darat - menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk
mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi
kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti
anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah pertanggungjawabannya
ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke
empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada
Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai
pejabat Presiden Republik Indonesia.
Ketika dilahirkan,
Soekarno diberikan nama Kusno oleh
orangtuanya. Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur sebelas
tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya. Nama tersebut diambil
dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna. Nama
"Karna" menjadi "Karno" karena dalam Bahasa Jawa huruf
"a" berubah menjadi
"o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik". Sebutan
akrab untuk Soekarno adalah Bung
Karno.
Soekarno dilahirkan
dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan
ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Nyoman Rai merupakan keturunan
bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri
beragama Islam. Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama
Sukarmini sebelum Soekarno lahir. Ketika kecil Soekarno tinggal bersama
kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.
Ia bersekolah pertama
kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti
orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya memasukan
Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia
bekerja. Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk
memudahkannya diterima di Hogere
Burger School (HBS). Pada tahun 1915, Soekarno telah
menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya,
Jawa Timur. Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya
yang bernama H.O.S. Tjokroaminotoo. Tjokroaminoto bahkan memberi
tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya. Di Surabaya,
Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi
yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian aktif dalam
kegiatan organisasi pemuda Tri Koro
Dharmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama
organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda
Jawa) pada 1918. Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian
"Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Tamat HBS Soerabaja
bulan Juli 1921, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (ITB) di Bandung dengan
mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921, setelah dua
bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar
kembali dan tamat pada tahun 1926. Soekarno dinyatakan lulus
ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH
Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan
belas insinyurlainnya. Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji
Sanusi. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto
Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker.
·
Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur
bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya
bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan
jenis bangunan lainnya.
·
Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang
beberapa rumah dan merenovasi total masjid Jami' di tengah kota.
Soekarno untuk pertama kalinya
menjadi terkenal ketika dia menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya pada tahun
1915. Bagi Soekarno sifat organisasi tersebut yang Jawa-sentris dan hanya
memikirkan kebudayaan saja merupakan tantangan tersendiri. Dalam rapat pleno
tahunan yang diadakan Jong Java cabang Surabaya Soekarno menggemparkan sidang
dengan berpidato menggunakan bahasa Jawa ngoko(kasar). Sebulan kemudian dia mencetuskan
perdebatan sengit dengan menganjurkan agar surat kabar Jong Java diterbitkan
dalam bahasa Melayu saja, dan bukan dalam bahasa Belanda.
pemerintahan pendudukan Jepang
memerhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti
Soekarno, Mohammad Hatta, dan lain-lain dalam setiap
organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk
Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno,
Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan lain-lainnya disebut-sebut dan
terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerja sama dengan
pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula
yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang
adalah fasis yang berbahaya.
Soekarno bersama tokoh-tokoh
nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi),
Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Soekarno-Hatta mendirikan Negara
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah Pengakuan Kedaulatan
(Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan
Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia
Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan
Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI
Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin
kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali
berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan
Presiden RI diserahkan kembali kepada Soekarno. Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta
cukup populer dan lebih kuat di kalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala
pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal
sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang
memercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya.
Kesehatan Soekarno sudah mulai
menurun sejak bulan Agustus 1965. Sebelumnya, ia
telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964. Prof. Dr. K.
Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal
kiri Soekarno diangkat, tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan
tradisional.[ Ia bertahan selama 5 tahun sebelum
akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan
politik. Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang
dimiliki oleh Ratna Sari Dewi. Komunike medis menyatakan hal sebagai berikut:
1. Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan
kesehatan Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
2. Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Soekarno
dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal
dunia.
3. Tim dokter secara terus-menerus
berusaha mengatasi keadaan kritis Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta
agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat
pemakaman Soekarno. Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970. Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar
sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan
makam ibunya. Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI
Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara. Pemerintah kemudian
menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
2.
Drs. Mohammad Hatta
Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock(sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah
tokoh pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting
untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga
pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil
presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal sebagai
Bapak Koperasi Indonesia.
Bandar udara internasional Tangerang
Banten, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan namanya sebagai
penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta juga
diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di
kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat. Pada
tahun 1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan sebagai
salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986
melalui Keppres nomor 081/TK/1986.
Mohammad Hatta lahir
dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang
keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatera Barat. Sedangkan ibunya berasal dari
keluarga pedagang di Bukittinggi. Ia lahir dengan nama Muhammad
Athar pada tanggal 12 Agustus 1902. Namanya, Athar berasal dari Bahasa Arab, yang berarti
"harum". Ia merupakan anak kedua, setelah Rafiah yang lahir pada
tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan
keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah,
Abdurahman Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit
dari surau yang bertahan pasca-Perang Padri. Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan
pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.
Mohammad Hatta pertama
kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta. Setelah enam bulan, ia
pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun,
pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga. Ia lalu pindah
ke ELSdi Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913, kemudian
melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917.
Pada 18 November 1945,
Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan tiga hari setelah menikah, mereka bertempat tinggal di Yogyakarta.
Kemudian, dikarunai 3 anak perempuan yang bernama Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi'ah
Hatta,
dan Halida Nuriah Hatta.
Setelah Hatta kembali dari Belanda,
Syahrir tidak bisa ke Belanda karena keduanya keburu ditangkap Belanda
pada 25 Februari 1934 dan dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda Neira. Baik di Digul maupun Banda Neira, ia banyak menulis di koran-koran Jakarta, dan ada juga
untuk majalah-majalah di Medan. Artikelnya tidak terlalu politis,
namun bersifat lebih menganalisis dan mendidik pembaca. Ia juga banyak membahas
pertarungan kekuasaan di Pasifik.
Semasa diasingkan ke Digul, ia membawa
semua buku-bukunya ke tempat pengasingannya. Di sana, ia mengatur waktunya sehari-hari.
Pada saat hendak membaca, ia tak mau diganggu. Sehingga, beberapa kawannya
menganggap dia sombong. Ia juga merupakan sosok yang peduli terhadap
tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat.
Pada tanggal 8
Desember 1941, angkatan
perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Ini memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl Harbor, Jepang
segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut,
Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan
dari Digul ke Australia, karena khawatir kerjasama dengan
Jepang. Hatta dan Syahrir dipindahkan pada Februari 1942, ke Sukabumi
setelah menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api ke Jakarta. Bersama kedua orang ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Banda yang dijadikan anak angkat
oleh Syahrir.
Setelah itu, ia dibawa kembali
ke Jakarta. Ia bertemu Mayor Jenderal Harada.
Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke Indonesia. Harada menawarkan kerjasama dengan
Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan penting. Hatta menolak, dan memilih
menjadi penasihat. Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan
Timur dan rumah di Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro). Orang
terkenal pada masa sebelum perang, baik orang pergerakan, atau mereka yang
bekerja sama dengan Belanda, diikutsertakan seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno
Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo, dan Sumargo Djojohadikusumo. Pada
masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga baru. Pekerjaan di sini, merupakan
tempat saran oleh pihak Jepang. Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan
nasihat yang menguntungkan mereka, malah Hatta memanfaatkan itu untuk membela
kepentingan rakyat.
Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung
Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam)
untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas
melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak
Jepang kepada Indonesia. Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima
Asia Tenggara Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana Bung Karno bersama
Bung Hatta diculik kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang pimpinan
PETA, Djiaw Kie Siong, di sebuah kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat.
Penculikan itu dilakukan oleh
kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi
Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1
Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala
pemerintahan umum) Mayjen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai
pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak
menghasilkan kesepahaman sehingga tidak adanya kesepahaman itu meyakinkan
mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu tanpa kaitan lagi
dengan Jepang.
Pada 17 Agustus 1945,
hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia dia bersama
Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan di Jalan
Pegangsaan Timur 56 Jakarta pukul 10.00 WIB. Dan keesokan harinya pada tanggal
18 Agustus 1945, dia resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama
mendampingi Presiden Soekarno.
Selama menjadi Wakil
Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan nada sangat marah, menyelamatkan
Republik dengan mempertahankan naskah Linggarjati di Sidang Pleno KNIP di
Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret 1947 dan hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak pada 6 Maret 1947.
Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Hatta dapat
meloloskan diri dari kepungan Belanda dan pada saat itu dia masih berada
di Pematangsiantar. Dia dengan selamat bersama dengan
Gubernur Sumatera Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya pada 12 Juli 1947 Bung Hatta mengadakan Kongres
Koperasi I di Tasikmalayayang menetapkan tanggal 12 Juli
sebagai Hari Koperasi di Indonesia. Kemudian dalam Kongres Koperasi II di Bandung tanggal 12 Juli 1953, Bung
Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Kemudian, Bung Hatta dengan
kewibawaannya sebagai Wakil Presiden hendak memperjuangkan sampai
berhasil Perjanjian Renville dengan berakibat
jatuhnya Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang
dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri dan merangkap
jabatan sebagai Menteri Pertahanan.
Suasana panas waktu timbul Pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948,
memuncak pada penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung
Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Pada
tahun yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka.
Beberapa waktu setelah pengasingan karena mengalami adanya sebuah perundingan
Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang mewakili Australia dan Cochran mewakili Amerika.
Pada Juli 1949, terjadi kemenangan
Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia. Tahun ini, terjadilah sebuah
perundingan penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag sesudah berunding selama 3
bulan, pada 27 Desember 1949 kedaulatan NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu
Juliana memberi tanda pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa
syarat kecuali Irian Barat yang akan dirundingkan lagi dalam waktu setahun
setelah Pengakuan Kedaulatan kepada Bung Hatta yang bertindak sebagai Ketua
Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.[61][63]
Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan
di Jakarta dari Dr. Lovink yang mewakili Belanda kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sehingga pada akhirnya negara
Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Bung Hatta terpilih
menjadi Perdana Menteri RIS juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri RIS dan
berkedudukan di Jakarta dan Bung Karno menjadi Presiden RIS. Ternyata RIS tidak
berlangsung lama, dan pada 17 Agustus 1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dengan ibu kota Jakarta dan Perdana Menteri Mohammad Natsir. Bung Hatta
menjadi Wakil Presiden RI lagi dan berdinas di Jalan Medan Merdeka Selatan 13
Jakarta.
Pada tanggal 20 Juli 1956, Mohammad Hatta menulis sepucuk
surat kepada Ketua DPR pada saat itu, Sartono yang isinya antara lain, "Merdeka, Bersama ini saya
beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang
dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah
tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil
presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan
itu secara resmi."
DPR menolak secara halus permintaan
Mohammad Hatta tersebut, dengan cara mendiamkan surat tersebut. Kemudian, pada
tanggal 23 November 1956, Bung Hatta menulis surat susulan
yang isinya sama, bahwa tanggal 1 Desember 1956, dia akan berhenti sebagai Wakil
Presiden RI. Akhirnya, pada sidang DPR pada 30 November 1956, DPR akhirnya menyetujui permintaan
Mohammad Hatta untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden,
jabatan yang telah dipegangnya selama 11 tahun.
Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 pk18.56 di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta
setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Selama hidupnya, Bung Hatta telah
dirawat di rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun 1963, 1967, 1971, 1976, 1979,
dan terakhir pada 3 Maret 1980. Keesokan harinya, dia disemayamkan di
kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir,
Jakarta disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin secara langsung oleh
Wakil Presiden pada saat itu, Adam Malik. Ia ditetapkan sebagai pahlawan proklamator pada tahun 1986
oleh pemerintahan Soeharto.
Setelah wafat,
Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Hatta pada 23 Oktober 1986 bersama dengan mendiang Bung
Karno. Pada 7 November 2012, Bung Hatta secara resmi bersama
dengan Bung Karno ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai Pahlawan Nasional.
3.
Jenderal Soedirman
Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun) adalah
seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Soedirman lahir dari pasangan
Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini
tinggal di rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga, Hindia Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang
camat bernama Raden Cokrosunaryo. Menurut
catatan keluarga, Soedirman –dinamai oleh pamannya –lahir pada Minggu pon di bulan Maulud dalam penanggalan Jawa; pemerintah Indonesia kemudian
menetapkan 24 Januari 1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi
keuangan Cokrosunaryo yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya
gelar Raden, gelar kebangsawanan pada suku Jawa. Menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia secara luas terus dihormati
di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah
ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman
tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan
ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh
organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan
kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat
karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia
mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di
sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya
dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937.
Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap
mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang,
menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama
prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,
Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk
bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi
proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan
divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian
dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab
atas divisi tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan
untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan
Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala
staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap
pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris
menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya
diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun
berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial
Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh
Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan Indonesia
harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan
35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam,
termasuk upaya kudeta pada
1948.
Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab
penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut,
paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948,
beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda
melancarkan Agresi Militer IIuntuk menduduki Yogyakarta. Di saat
pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok
kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan
memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya
mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil
kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu
mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949di Yogyakarta, yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri,
Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin
terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh
Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke
Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi duka bagi
seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang
berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus
dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai
sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan
rute gerilya sepanjang 100-kilometer (62 mi) yang ditempuhnya harus
diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus
dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang
kertas rupiahkeluaran 1968, dan namanya
diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada
tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Soedirman wafat di
Magelang pada pukul 18.30 tanggal 29 Januari 1950; kabar duka ini dilaporkan
dalam sebuah siaran khusus di RRI. Setelah berita kematiannya disiarkan,
rumah keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota
Brigade IX yang bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah
Soedirman dibawa ke Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin
oleh empat tank dan delapan puluh kendaraan
bermotor, dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut
diselenggarakan oleh anggota Brigade IX. Jenazah Soedirman disemayamkan
di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari.
4.
Pangeran Diponegoro
Bendara
Pangeran Harya Dipanegara (lebih
dikenal dengan nama Diponegoro,
lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November1785 – meninggal di Makassar, Hindia Belanda, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah
salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal
karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai
perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia.
Pangeran Diponegoro adalah putra
sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Nama lahir Mustahar dari seorang selir
bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa
ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan. Semasa kecilnya, Pangeran
Diponegoro bernama Bendara Raden
Mas Antawirya.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan
ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja.
Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam
hidupnya, yaitu:
·
B.R.A. Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan;
·
R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri
Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang;
·
R.A. Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan
Jogjakarta;
·
R.Ay. Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika
dengan salah satu isteri selir;
·
R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu
Maduretna (putri HB II), jadi R.A Maduretna saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu;
·
R.Ay.
Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumaprawira,
bupati Jipang Kepadhangan;
·
R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan;
·
R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
·
Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo,
Makassar), makamnya ada di Makassar. Syarifah Fathimah ini nasab lengkapnya
adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk
Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim
bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin
Husain Jamaluddin Akbar.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro
dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki Sodewa melakukan
peperangan di wilayah Kulonprogo dan Bagelen.
Setidaknya Pangeran
Diponegoro mempunyai 12 putra dan 10 orang putri, yang keturunannya semuanya kini hidup
tersebar di seluruh dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi, dan Maluku bahkan di Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.
Sebagai penghargaan
atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia
terdapat Jalan Pangeran Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan
apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup.
Untuk mengenang jasa
Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan, didirikanlah Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan
sebutan "Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati bekas
kediaman Pangeran Diponegoro.
5.
Cut Nyak Dhien
Cut Nyak
Dhien (ejaan
lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda
pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi,
sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum
pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak
Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan
Belanda melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi
karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut dalam medan perang, Cut Nyak Dhien
setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi
nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya
dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan
Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari1899, sehingga ia berjuang sendirian di
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua
dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang
bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap
dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh.
Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih
berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang
ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung
Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari
keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan
keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari
Minangkabau.
Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang
merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Datuk Makhudum
Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul
Badrul Munir.. Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien
adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang
dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak,
melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik
oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada
tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII.
Mereka memiliki satu anak laki-laki.
menggunakan Rencong sebagai salah
satu alat perang untuk melawan para tentara Kerajaan Belanda pada saat Kerajaan Belanda
menyerang Kerajaan Aceh dan membakar Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 1873.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan
meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel
van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang
pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah
bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198
prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen
di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang
bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler
tewas tertembak pada April 1873.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat
diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh
pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya
akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur
untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di
Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien
sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh,
melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena
Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien
akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini meningkatkan moral
semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir).
Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut
Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya
dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan
dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan
orang Belanda semakin kuat. Pada
tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang
berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh
yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar
gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan
unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana
untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh.
Cut Nyak Dien berusaha menasihatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus
berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda,
sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia
kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar
melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin
menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan
semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak
pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan
Teuku Umar).
Teuku Umar yang mengkhianati Belanda
menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi
besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun,
gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda sementara
Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius
Hubertus Pel,
dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda
lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar
keberadaannya.
Dien dan Umar terus menekan Belanda,
lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar),
sehingga Belanda terus-terusan mengganti jenderal yang bertugas. Unit
"Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka
dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu,
kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang
ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati
kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De
Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jenderal
selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan
nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan
mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai
informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh
pada tanggal 11 Februari1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur
tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena
kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
“
|
”
|
Cut Nyak Dien lalu memimpin
perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan
kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai
kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di
medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah
mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus
berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para
pasukan-pasukannya.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot
melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda
menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan
bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan
musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Nyak Dhien
ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan
meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien
dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ.
Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak
Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan
menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan
pejuang yang belum tunduk.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan
tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu,
tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi
tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan
bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien
merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai
"Ibu Perbu".
Pada tanggal 6 November 1908, Cut
Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu"
baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui
oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Menurut penjaga makam, makam Cut
Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh,
Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di
Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan. Pada acara tersebut, peserta
berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam,
kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah
setelah hari pertama Lebaran. Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali
dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui
monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam
yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi
pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam
terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien,
tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak
Dhien berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh
untuk merdeka dari Republik Indonesia. Selain itu, daerah makam ini sepi
akibat sering diawasi oleh aparat.
Kini, makam ini mendapat biaya
perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak
memberikan dana.
6.
Ki Hajar Dewantara
H
Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III. Ia menamatkan pendidikan
dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian
sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tetapi
tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Selain ulet
sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk
menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa)
pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda
juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan
sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD
mendirikan Indische
Partij, Soewardi
diajaknya pula.
Sewaktu
pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk
pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis
dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor
Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua
untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah
"Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een
Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di
kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai
berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta
kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar
dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk
menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang
kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu!
Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan
kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu
kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa
pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri
karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini.
Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam
memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.
Akibat tulisan
ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau
Bangka (atas
permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga
diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga
Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam
pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal
Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Tahun 1913 dia
mendirikan Indonesisch Pers-bureau, "kantor berita
Indonesia". Ini adalah penggunaan formal pertama dari istilah
"Indonesia", yang diciptakan tahun 1850 oleh ahli bahasa asal
Inggeris George Windsor Earl dan pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.
Di sinilah ia
kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu
pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah
pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga
pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide
sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya
dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Soewardi
kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung
dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya
untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada
tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia
40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia
dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam
sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan
Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung
tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan
memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi
dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat
Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Dalam kabinet
pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri
Pengajaran Indonesia (posnya
disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama.
Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor
honoris causa,
Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan
umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari
kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI
no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
BAB 3 PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahwa masyarakat Indonesia harus
mengerti dan memahami tentang riwayat hidup Pahlawan Nasional Indonesia, paling
tidak hanya beberapa saaja. Karena mengetahui serta memahami materi ini dapat
menunjukkan bahwa ia memiliki jiwa kebangsaan dan persatuan yang tinggi.
B.
Saran
Dalam penyusunan makalah ini saya
sebagai penulis tahu bahwa makalah ini masih belum sempurna, untuk itu kritik
maupun saran yang bermanfaat sangat saya harapkan demi kepentingan kemajuan
makalah ini.
C.
Pelajaran Yang Dipetik
Setelah
kita mengetahui riwayat hidup beberapa Pahlawan Nasional Indonesia, sekiranya
kita dapat mengetahui mengerti dan memahami tentang riwayat hidup setiap
Pahlawan Nasional Indonesia.
BAB 4 DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar